Pages

Rabu, 24 Oktober 2012

BANGSA ARAB PRA-ISLAM


Secara umum, bangsa Arab pra Islam terbagi dalam dua kelompok besar; Bangsa Aribah dan Bangsa Muta’rribah. Bangsa Aribah mendiami wilayah Yaman dan terdiri dari beberapa kabilah. Mereka adalah keturunan dari Qathan yang dalam kitab Taurat disebut Yaqzan. Selama ratusan tahun lamanya, Bangsa Aribah pernah berjaya dengan mendirikan kerajaan-kerajaan besar yang melahirkan kebudayaan dan peradaban tinggi di zamannya. Mereka membangun kota-kota dan mendirikan istana-istana megah dengan arsitektur yang bermutu tinggi. Bangsa Aribah sudah mampu mengolah pertanian mereka dengan sistem irigasi, disamping ahli dalam seni ukir, ahli dalam ilmu nujum atau perbintangan, memiliki angkatan perang yang tangguh, dan mengadakan hubungan dagang dengan negara-negara tetangga.[1]
Sedangkan Bangsa Muta’arribah adalah keturunan dari Nabi Ismail as. Mereka mendiami kawasan Hijaz, yakni sebelah utara kawasan yang didiami Bangsa Aribah. Mereka dinamakan Bangsa Muta’arribah karena nenek moyak mereka yang pertama, Nabi Ismail as. tidak berbahasa asli Arab, melainkan berbahasa Ibrani dan Suryani. Menurut catatan sejarah, kedatangan Nabi Ismail ke Arab berawal ketika beliau bersama ibunya, Siti Hajar, dibawa oleh bapaknya, Nabi Ibrahim as. ke Mekkah dan menetap di sana. Nabi Ismail dan Siti Hajar berbaur bersama pendduduk setempat, yakni kabilah Jurhum dari Bangsa Qathan, yang telah lebih dahulu mendiami Mekkah. Dari kabilah Jurhum inilah Nabi Ismail mengenal bahasa Arab, dan setelah dewasa menikah dengan salah seorang gadis keturunan kabilah Jurhum tersebut. Dari pernikahan itu, Nabi Ismail dikaruniai 12 orang anak yang di kemudian hari menjadi cikal-bakal keturunan Kuraisy.[2] Di Mekkah ini pula Nabi Ismail menyiarkan agama tawhid yang dibawanya.

 

Kependudukan

Bila ditinjau dari segi daerah tempat tinggal, bangsa Arab yang wilayahnya terdiri dari padang pasir dan steppa, pada masa sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW. dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yakni penduduk pedalaman (Badui/A’rabi) dan penduduk perkotaan. Penduduk pedalaman tidak mempunyai tempat tinggal permanen. Mareka adalah kaum nomad yang hidup berpindah-pindah dari satu kawasan ke kawasan lain bersama binatang ternak mereka untuk mencari sumber mata air dan padang rumput yang subur (oase). Kaum Badui ini hidup dari beternak kambing dan memerah susunya sebagai konsumsi sehari-hari. Sedangkan penduduk perkotaan sudah memiliki tempat tinggal tetap di kota-kota kecil secara terisah-pisah di berbagai kawasan. Mereka sudah memiliki beragam keterampilan seperti berdagang, bercocok tanam, atau beternak.
Baik penduduk perkotaan maupun pedalaman, mereka semua hidup berkabilah-kabilah atau bersuku-suku sesuai garis keturunan (klan). Oleh karena itu, seringkali terjadi perselisihan antar kabilah yang meyebabkan pertumpahan darah antar mereka.

 

Budaya

Sejak sebelum kedatangan Islam, Bangsa Arab dikenal memiliki kebudayaan non-materiil yang dilestarikan secara turun-temurun. Di kalangan mereka banyak para pujangga, penyair, penutur cerita prosa, atau penungang kuda yang tangkas. Kelebihan-kelebihan seperti itu menjadi syarat mutlak diraihnya status sosial, baik di kabilahnya sendiri maupin di hadapan kabilah lain.

Dalam bidang sastra, masyarakat Arab menempatkannya layaknya ajaran agama yang sakral. Dalam membuat suatu keputusan hukum sekalipun, bangsa Arab umumnya selalu merujuk pada syair-syair yang mereka dengar. Besarnya peran syair dalam konstruksi sosial Bangsa Arab terlihat dari kebiasaan mereka, dimana perselisihan antar suku, perebutan status sosial, hingga terjalinya hubungan harmonis antar kabilah, umumnya disebabkan oleh pengaruh syair-syair ini. Setiap kabilah akan merasa bangga jika ada diantara warga mereka ada yang menjadi ahli syair. Mereka memposisikan syair-syair laksana kalam hikmah yang harus diikuti dan ditaati, sementara penyairnya dinilai sebagai nabi yang memiliki kapasitas keilmuan mumpuni. Jika satu kabilah mempunyai warga yang sangat ahli dalam bidang syair, maka mereka akan mengundangnya ke tempat-tempat keramaian seperti pasar tahunan, atau dalam acara-acara ritual seperti pelaksanaan haji.[3]

Nama-nama penyair yang sangat populer dan mempunyai posisi terhormat dalam pandangan masyarakat Arab, antara lain, Imri’ al-Qais, Nabighah al-Dzibyani, Zuhair bin Abi Salma, dan al-A’sya.[4] Nama-nama inilah yang dinilai oleh masyarakat Arab sebagai dewa-dewa kesusastraan Arab yang selalu diidolakan dan diagung-agungkan. Setiap patah kata yang jekuar dari mulut mereka laksana sabda Nabi yang harus didengarkan dan dipatuhi.

Disamping kebangggaan dalam bidang kesusasteraan, bangsa Arab juga memuja-muja kekuatan dan ketangkasan individual. Identitas sosial bagi setiap individu banyak didasarkan pada aspek kekuatan, keperkasaan, ketangkasan, kemahiran, dan keahlian-keahlian tertentu lainnya, seperti menunggang kuda, memanah, memainkan pedang, dan lain sebagainya.

Hal lain yang menjadi ciri khas kabilah-kabilah Arab adalah kesetiaan dan solidaritas antar kelompok. Kesetiaan menjadi sumber kekuatan utama setiap suku. Bahkan bila diantara anggota suku ada yang membelot, maka hukumannya adalah mati.


Konstruksi Sosial

Setiap kabilah di seluruh semenanjung Arab umumnya dibentuk oleh beberapa keluarga atau garis keturunan (klan) dan mendiami sebuah tempat tertentu secara turun temurun. Mereka membentuk satu kelompok kesukuan yang dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut syeikh (maha guru). Sang kepala suku memiliki posisi sangat terhormat di mata setiap anggota suku. Segala persoalan hidup setiap anggota suku selalu dimintai pertimbangan kepadanya, mulai hal-hal yang kecil seperti pernikahan, waris-mewaris, hingga persengketaan tanah, maupun perkara besar yang berhubungan dengan nasib orang banyak, seperti peraturan kesukuan, pembangunan tempat-tempat umum, atau sengketa antar suku. sebagai contoh, ketika segolongan anggota Bani Nazzar berselisih soal tanah warisan, mereka lalu meminta salah satu tokohnya, al-Af’a bin al-Af’a al-Jurhumi, guna


[1] Ensiklopedi Islam, Katalog Dalam Terbitan (KDT), pen. PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, vol. Kelima tahun 1999, huruf “A” hal. 154-155.
[2] Kisah selengkapnya, lihat Ahmad Fahmi Muhammad, catatan kaki al-Milal wa al-Nihal, Abdul Karim al-Syahrastani, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, tt. Jilid 3, hal. 647.
[3] al-Abbasi, Op. cit., jilid 1 hal. 261.
[4] Ibid.