Secara umum, bangsa Arab pra Islam terbagi
dalam dua kelompok besar; Bangsa Aribah dan Bangsa Muta’rribah.
Bangsa Aribah mendiami wilayah Yaman dan terdiri dari beberapa kabilah. Mereka
adalah keturunan dari Qathan yang dalam kitab Taurat disebut Yaqzan. Selama
ratusan tahun lamanya, Bangsa Aribah pernah berjaya dengan mendirikan
kerajaan-kerajaan besar yang melahirkan kebudayaan dan peradaban tinggi di
zamannya. Mereka membangun kota-kota dan mendirikan istana-istana megah dengan
arsitektur yang bermutu tinggi. Bangsa Aribah sudah mampu mengolah pertanian
mereka dengan sistem irigasi, disamping ahli dalam seni ukir, ahli dalam ilmu
nujum atau perbintangan, memiliki angkatan perang yang tangguh, dan mengadakan
hubungan dagang dengan negara-negara tetangga.[1]
Sedangkan Bangsa Muta’arribah adalah
keturunan dari Nabi Ismail as. Mereka mendiami kawasan Hijaz, yakni sebelah
utara kawasan yang didiami Bangsa Aribah. Mereka dinamakan Bangsa Muta’arribah
karena nenek moyak mereka yang pertama, Nabi Ismail as. tidak berbahasa asli
Arab, melainkan berbahasa Ibrani dan Suryani. Menurut catatan sejarah,
kedatangan Nabi Ismail ke Arab berawal ketika beliau bersama ibunya, Siti
Hajar, dibawa oleh bapaknya, Nabi Ibrahim as. ke Mekkah dan menetap di sana.
Nabi Ismail dan Siti Hajar berbaur bersama pendduduk setempat, yakni kabilah
Jurhum dari Bangsa Qathan, yang telah lebih dahulu mendiami Mekkah. Dari
kabilah Jurhum inilah Nabi Ismail mengenal bahasa Arab, dan setelah dewasa
menikah dengan salah seorang gadis keturunan kabilah Jurhum tersebut. Dari
pernikahan itu, Nabi Ismail dikaruniai 12 orang anak yang di kemudian hari
menjadi cikal-bakal keturunan Kuraisy.[2]
Di Mekkah ini pula Nabi Ismail menyiarkan agama tawhid yang dibawanya.
Kependudukan
Bila ditinjau dari segi daerah tempat
tinggal, bangsa Arab yang wilayahnya terdiri dari padang pasir dan steppa, pada
masa sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW. dapat dibedakan menjadi dua kelompok
besar, yakni penduduk pedalaman (Badui/A’rabi) dan penduduk perkotaan.
Penduduk pedalaman tidak mempunyai tempat tinggal permanen. Mareka adalah kaum
nomad yang hidup berpindah-pindah dari satu kawasan ke kawasan lain bersama
binatang ternak mereka untuk mencari sumber mata air dan padang rumput yang
subur (oase). Kaum Badui ini hidup dari beternak kambing dan memerah susunya
sebagai konsumsi sehari-hari. Sedangkan penduduk perkotaan sudah memiliki
tempat tinggal tetap di kota-kota kecil secara terisah-pisah di berbagai
kawasan. Mereka sudah memiliki beragam keterampilan seperti berdagang, bercocok
tanam, atau beternak.
Baik penduduk perkotaan maupun pedalaman,
mereka semua hidup berkabilah-kabilah atau bersuku-suku sesuai garis keturunan
(klan). Oleh karena itu, seringkali terjadi perselisihan antar kabilah yang
meyebabkan pertumpahan darah antar mereka.
Budaya
Sejak sebelum kedatangan Islam, Bangsa Arab dikenal
memiliki kebudayaan non-materiil yang dilestarikan secara turun-temurun. Di
kalangan mereka banyak para pujangga, penyair, penutur cerita prosa, atau
penungang kuda yang tangkas. Kelebihan-kelebihan seperti itu menjadi syarat
mutlak diraihnya status sosial, baik di kabilahnya sendiri maupin di hadapan
kabilah lain.
Dalam
bidang sastra, masyarakat Arab menempatkannya layaknya ajaran agama yang
sakral. Dalam membuat suatu keputusan hukum sekalipun, bangsa Arab umumnya
selalu merujuk pada syair-syair yang mereka dengar. Besarnya peran syair dalam
konstruksi sosial Bangsa Arab terlihat dari kebiasaan mereka, dimana
perselisihan antar suku, perebutan status sosial, hingga terjalinya hubungan
harmonis antar kabilah, umumnya disebabkan oleh pengaruh syair-syair ini.
Setiap kabilah akan merasa bangga jika ada diantara warga mereka ada yang
menjadi ahli syair. Mereka memposisikan syair-syair laksana kalam hikmah yang
harus diikuti dan ditaati, sementara penyairnya dinilai sebagai nabi yang
memiliki kapasitas keilmuan mumpuni. Jika satu kabilah mempunyai warga yang
sangat ahli dalam bidang syair, maka mereka akan mengundangnya ke tempat-tempat
keramaian seperti pasar tahunan, atau dalam acara-acara ritual seperti
pelaksanaan haji.[3]
Nama-nama
penyair yang sangat populer dan mempunyai posisi terhormat dalam pandangan
masyarakat Arab, antara lain, Imri’ al-Qais, Nabighah al-Dzibyani, Zuhair bin
Abi Salma, dan al-A’sya.[4] Nama-nama inilah yang dinilai oleh masyarakat Arab sebagai
dewa-dewa kesusastraan Arab yang selalu diidolakan dan diagung-agungkan. Setiap
patah kata yang jekuar dari mulut mereka laksana sabda Nabi yang harus
didengarkan dan dipatuhi.
Disamping
kebangggaan dalam bidang kesusasteraan, bangsa Arab juga memuja-muja kekuatan
dan ketangkasan individual. Identitas sosial bagi setiap individu banyak
didasarkan pada aspek kekuatan, keperkasaan, ketangkasan, kemahiran, dan
keahlian-keahlian tertentu lainnya, seperti menunggang kuda, memanah, memainkan
pedang, dan lain sebagainya.
Hal
lain yang menjadi ciri khas kabilah-kabilah Arab adalah kesetiaan dan
solidaritas antar kelompok. Kesetiaan menjadi sumber kekuatan utama setiap
suku. Bahkan bila diantara anggota suku ada yang membelot, maka hukumannya
adalah mati.
Konstruksi
Sosial
Setiap
kabilah di seluruh semenanjung Arab umumnya dibentuk oleh beberapa keluarga
atau garis keturunan (klan) dan mendiami sebuah tempat tertentu secara turun
temurun. Mereka membentuk satu kelompok kesukuan yang dipimpin oleh seorang
kepala suku yang disebut syeikh (maha guru). Sang kepala suku memiliki
posisi sangat terhormat di mata setiap anggota suku. Segala persoalan hidup
setiap anggota suku selalu dimintai pertimbangan kepadanya, mulai hal-hal yang
kecil seperti pernikahan, waris-mewaris, hingga persengketaan tanah, maupun
perkara besar yang berhubungan dengan nasib orang banyak, seperti peraturan
kesukuan, pembangunan tempat-tempat umum, atau sengketa antar suku. sebagai
contoh, ketika segolongan anggota Bani Nazzar berselisih soal tanah warisan,
mereka lalu meminta salah satu tokohnya, al-Af’a bin al-Af’a al-Jurhumi, guna
[1] Ensiklopedi Islam,
Katalog Dalam Terbitan (KDT), pen. PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, vol.
Kelima tahun 1999, huruf “A” hal. 154-155.
[2] Kisah selengkapnya,
lihat Ahmad Fahmi Muhammad, catatan kaki al-Milal wa al-Nihal, Abdul
Karim al-Syahrastani, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, tt. Jilid 3, hal. 647.
[4] Ibid.