Pada masa
Khalifah al-Ma’mun (w. 218 H.), setelah tokoh-tokoh Muktazilah mempelajari buku-buku filsafat yang telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab kemudian disinergikan dengan metode ilmu kalam, maka mulai
saat itu ilmu kalam menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Sebelum periode
al-Ma’mun, ilmu yang concren bersinggungan dengan diskursus seputar
kepercayaan disebut ‘al-fiqh’ sebagai imbangan fiqh al-‘ilmi,
yaitu tentang yurisprudensi Islam. Buktinya adalah penamaan Abu Hanifah
terhadap karyanya tentang diskursus teologi dengan “al-Fiqh al-Akbar”.
Perkembangan selanjutnya fiqh menjadi disiplin ilmu khusus seputar hukum,
sedangkan ilmu kalam tentang diskursus kepercayaan.1
Tersebab ilmu kalam merupakan
disiplin ilmu, maka ia sarat dengan kajian hakikat pengetahuan, sumber
pengetahuan, dan metode memperoleh pengetahuan, yang dalam dunia filsafat
dikenal dengan term “epistemologi”. Dalam dunia filsafat Yunani, hakikat
pengetahuan mempunyai dua teori: pertama, teori idealisme, yakni teori
mengenai hakikat pengetahuan yang didasari pemahaman bahwa hakikat dari sesuatu
adalah ide, bukan materi. Nah, karena teori ini berlandaskan sesuatu
yang bersifat abstrak (ide), maka menimbulkan konsekuensi logis bahwa sifat
dari pengetahuan adalah subyektif. Teori ini untuk pertama kalinya
diperkenalkan oleh Plato. Kedua, teori realisme, yakni sebuah teori yang
didasari pemahaman bahwa hakikat sesuatu adalah materi (benda-benda) yang
bersifat konkret, bukan ide. Implikasi dari teori ini adalah bahwa pengetahuan
menjadi bersifat objektif. Teori yang kedua ini merupakan pandangan
Aristoteles,2 yang kelak disetujui
oleh beberapa filsuf Muslim.
Al-Kindi dan al-Farabi yang dikenal sebagai filsuf Muslim
yang gandrung dengan konsep-konsep Aristoteles, mencoba menjembatani
filsafat Yunani dengan nalar Islam. Demi memuluskan proyek agung tersebut,
tidak jarang dikutip beberapa ayat yang mengajak manusia merenungkan
peristiwa-peristiwa alam dan menyingkap makna di balik terbit-tenggelamnya
matahari, membesar dan menyusutnya rembulan, pasang-surutnya air laut, dan
seterusnya. Ajaran-ajaran tersebut sejatinya merupakan anjuran untuk
berfilsafat. Al-Kindi juga menegaskan, bahwa manusia tidaklah dapat melarikan
diri terbirit-birit dari filsafat. Sementara, orang-orang yang alergi dengan
filsafat yang mengatakan bahwa fisafat tidak bermanfaat, sesungguhnya menganut
jenis filsafat tertentu, karena melawan filsafat tidaklah mungkin kecuali
dengan argumen-argumen filosofis lain dari hasil pemikiran yang mendalam.
Meskipun demikian, di sisi lain, al-Kindi sadar betul bahwa filsafat memiliki
garis-garis keterbatasannya sendiri dan tidak mempunyai daya dobrak memecahkan
permasalahan seputar sesuatu yang di luar kebiasaan (mu’jizat), neraka
dan surga, karena pengetahuan yang dihasilkan oleh filsafat sangat berhingga
jika dibandingkan dengan pengetahuan yang dipandu oleh jaminan ontentik wahyu
yang tak berhingga. Oleh sebab itu, tatkala terjadi konflik yang bersifat
antagonistik-kontradiktif, maka pengetahuan yang berlandaskan wahyu harus
didahulukan dalam skala prioritas di atas pengetahuan berlatar rasio. Berbeda
dengan al-Farabi dan juga Ibn Rusyd yang memenangkan pengetahuan rasional dan
menundukkan wahyu ketika terjadi kontra, yakni dengan cara menakwilkan wahyu tersebut
sesuai dengan aturan-aturan takwil.3
Fenomena intelektual Aristotelian di
atas menimbulkan keprihatinan yang mendalam di benak hujjat al-Islam,
al-Ghazali. Melalui karya tulisnya yang berjudul Tahâfut al-Falâsafah (kerancuan
filsafat), al-Ghazali mencoba meruntuhkan filsafat dan mengecam para filsuf
Muslim, khususnya penganut paham Aristoteles (Aristotelianisme) sebagai pembuat
bid’ah (inovator), dan bahkan sampai pada klaim pengkufuran. Dus,
karena kritik tajam yang dilakukan oleh al-Ghazali telah menyebabkan mewabahnya
semacam penyakit alergi dan antipati kaum Muslimin terhadap filsafat sekaligus
para penganutnya, maka Ibn Rusyd merasa terpanggil menyanggah pernyataan
al-Ghazali dengan meluncurkan karya impresifnya Tahâfut al-Tahâfut dan Fashl
al-Maqal. Dalam buku tersebut dapat disimplifikasikan dengan
uraian ringkas, bahwa Ibn Rusyd tengah berupaya membela Aristotelianisme dengan
cara melumpuhkan argumen-argumen al-Ghazali yang dianggap keliru dalam
memberikan gambaran mengenai konsepsi Aristoteles. Ibn Rusyd menyatakan
“al-Ghazali sebenarnya tidak paham betul dasar-dasar falsafah, melainkan ia
hanya belajar falsafah dari pandapat-pendapat Ibn Sina, maka wajar bila
al-Ghazali terjebak dalam kemelut pemahaman yang dangkal”.4
Secara faktual-empiris, Ibn Rusyd juga menempuh cara yang
sama dengan al-Kindi maupun al-Farabi dalam mendamaikan filsafat Yunani dengan
nalar teologis Islam, yakni dengan mengutip ayat-ayat al-Quran guna menunjukkan
bahwa berpikir filosofis sangat dianjurkan oleh Islam. Diantaranya adalah
teks-teks Ilahiyyah (divine revelation) yang memerintahkan agar
umat Islam merenungkan secara kontemplatif terhadap kejadian alam, dll, karena
pencurahan daya pikir terhadap hal tersebut akan mengantarkan pada pengetahuan
tentang Allah swt. sebagai pencipta alam semesta. Tanpa berfikir filosofis,
maka akan berakibat kaburnya realitas duniawi dan rohani.5
Bagian epistemologi dalam filsafat Yunani yang mempunyai
urgensitas untuk dicermati adalah diskursus seputar ‘sumber pengetahuan’ serta
‘cara memperoleh pengetahuan’. Terkait dengan itu, setidaknya terdapat empat
corak aliran (madzhab). Pertama, rasionalisme yang kurang
lebihnya merupakan madzhab epistemologi yang konsis menyatakan bahwa muara atau
sumber pengetahuan adalah akal (ratio, ‘aql). Implikasi dari
teori ini, dengan sendirinya, menempatkan kekuatan olah pikiran sebagai cara (manhaj-metodik)
untuk memperoleh pengetahuan. Aliran ini terinspirasi oleh pemikiran Descartes.6
Sementara dalam percaturan teologi Islam, Muktazilah merupakan
sekte yang sejalan dengan madzhab epsitemologi rasionalisme, khususnya dalam
diskursus tentang sumber pengetahuan bagi orang-orang yang belum menerima
dakwah Islam. Mereka perpandangan bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk
meskipun tanpa ada panduan teks-teks ketuhanan. Apa yang baik menurut akal maka
syariat harus sesuai dan apa yang buruk bagi akal maka syariat harus seia.
Dengan kata lain, hukum Allah harus tunduk dan cocok dengan penilaian rasio.
Tetapi merekapun akhirnya mengakui bahwa ketika dakwah Rasul telah diterima,
maka sumber pengetahuan tak lain adalah al-Quran dan Sunnah, sedangkan akal
–meski dengan porsi yang sangat besar– hanyalah instrumen untuk memahami atau
mentakwil kedua sumber itu. Pandangan Muktazilah ini sangat bertentangan dengan
doktrin Asy’arisme dan Maturidisme, di mana keduanya tidak pernah menetapkan
akal sebagai sumber pengetahuan, baik dakwah Islam telah datang maupun belum.
Asy’ariyyah senantiasa menegaskan bahwa akal tidak pernah dapat mengetahui baik
dan buruk kecuali dengan lantaran Rasul dan Kitabnya, karena akal selalu
terjebak dalam lubang relativisme (nisbi). Dengan demikian, akal dalam
perspektif Asy’ariyyah hanyalah berperan sebagai alat pengolah data teks-teks
ketuhanan. Lain halnya dengan Maturidiyyah yang tampil beda dengan sikap
moderat memberikan balance antara akal dan syariat. Tegasnya, akal
memang mampu mengetahui baik dan buruk berdasarkan implikasi yang ditimbulkan,
namun syariatpun tidak harus cocok dengan penilaian rasio itu, sebab disadari
bahwa rasio bersifat relatif, dan oleh karenanya, tidak ada jalan lain untuk
memperoleh pengetahuan selain melalui perantara Rasul. Berangkat dari uraian
ini dapat ditarik garis konklusi, bahwa Maturidiyyah sepakat dengan Muktazilah
khusus dalam hal baik dan buruk dapat ditemukan akal berdasarkan implikasi
bahaya dan kemanfaatan yang ditimbulkan. Sementara di sisi lain terjadi kontra
dalam menetapkan apa itu sumber pengetahuan, serta ketidakharusan bagi syariat
bersesuaian dengan penilaian akal. Di lain pihak, Maturidiyyah sepakat dengan
Asy’ariyyah khusus dalam apa itu sumber pengetahuan, namun bertentangan perihal
ketentuan baik dan buruk di mana Asy’ariyyah memandang bersifat dogmatis,
sedang Maturidiyyah menilai rasional.7
Selanjutnya, sumber pengetahuan yang kedua dalam filsafat
Yunani adalah empirisme, yakni sebuah madzhab epistemologi yang menegaskan
bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman pancaindra (tajribah al-hissi).
Dengan begitu, otomatis meniscayakan bahwa mendengar, mencium, memegang,
melihat, dan aktivitas-aktivitas indra yang lain, berperan sebagai cara manusia
memperoleh pengetahuan. Aliran ini dipandegani oleh John Locke.8 Dalam Islam pengalaman pancaindra sama
sekali bukan merupakan sumber pengetahuan, dan dengan demikian, filsafat Yunani
dalam hal ini berpunggungan dengan Islam.
Ketiga, intusionalisme;
madzhab epistemologi yang lebih memilih sumber pengetahuan berupa intuisi yang
bersifat ruhani. Sehingga, manusia dapat memperoleh pengetahuan dengan cara
latihan, meditasi, dan atau dzauq (rasa). Madzhab ini dibidani oleh
seorang Yahudi, Henri Bergson. Baginya, akal dan indra sangat terbatas karena
hanya mampu menjangkau obyek yang selalu berubah (taghayyur).9 Sementara dalam pandangan beberapa
filsuf Muslim, intuisi hanyalah sebuah jalan memperoleh pengetahuan, bukan
sumber pengetahuan. Bagi mereka, meskipun intuisi sering dinyatakan tidak
signifikan, tidak kognitif karena tidak dapat diverivikasi, dan tidak empiris,
namun masih dapat diterima apabila sudah diakui bahwa pengetahuan itu juga diperoleh
dari petunjuk wahyu. Cara memperoleh pengetahuan melalui meditasi dan dzauq
ini sering dipraktekkan oleh para sufi sehingga mampu menerima komunikasi dari
alam gaib dan transedental. Dalam prosesnya, seorang intuisionis harus
melepaskan dirinya dari realitas keduniaan, lalu menghubungkan dengan realitas
yang rohani dan Ilahiyyah.10 Dalam
ranah epistemologi Muhammad Abid al-Jabiri, proses tersebut sering disebut
dengan epistemologi irfani.
Sedang aliran yang keempat adalah madzhab epistemologi
Immanuel Kant, yakni aliran yang mencoba mensinergikan antara sumber
pengetahuan rasionalistik dan empirik seperti melihat, meraba, dll. (jam’u
bayn al-ma’qul wa tajribah al-hisi). Implikasi
dari teori ini adalah memposisikan akal dan pengalaman indra lahir sebagai
jalan memperoleh pengetahuan.11 Hal
ini sangat berlainan dengan Islam, di mana Islam tidak pernah memposisikan akal
dan pengalaman empirik sebagai “sumber pengetahuan”, melainkan hanya “alat
untuk memperoleh pengetahuan”. Allah
swt. berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu
dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya, dan Dia sebarkan di
bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (al-Baqarah: 164). Dalam ayat ini jelas,
bahwa pengalaman empirik dan peran rasio hanya merupakan sarana untuk
memperoleh pengetahuan, bukan sumber pengetahuan. Pengalaman empirik; meraba,
atau melihat apa yang diciptakan di bumi dan di langit, pergantian siang dan
malam, kemudian memikirkannya secara kontemplatif, merupakan jalan seseorang
untuk meyakini bahwa Allah adalah pencipta alam yang esa.
Dari uraian di atas dapat ditarik garis tegas, bahwa sumber
pengetahuan dalam filsafat Yunani sejatinya memang tidak selalu sejalan dengan
epistemologi Islam. Dalam masalah sumber pengetahuan, Islam tidak memposisikan
akal (rasionalisme), pancaindra (empirisme), dan seterusnya, sebagai sumber
pengetahuan. Melainkan al-Quran dan haditslah sumber pengetahuan yang tidak
dapat diruntuhkan oleh siapapun. Meski demikian, bukan berarti Islam menganut
‘pola irasional’ karena menyingkirkan rasio dari belantara sumber pengetahuan.
Salah satu buktinya, saat bersentuhan dengan disiplin ilmu kalam, rasio
merupakan instrumen vital untuk memahami sumber pengetahuan (Quran dan hadits).
Dengan demikian, dalam ilmu kalam terdapat kombinasi antara epistemologi burhani
yang menekankan pada aspek rasionalitas dengan epistemologi bayani yang
menekankan aspek teks-teks ketuhanan.
Sifat dasar teologi Islam adalah berkarakter rasional. Hal
itu tercermin lewat al-Quran yang selalu menggunakan dialektika dengan
mempertentangkan tauhid yang rasional vis a vis syirik
yang irasional (ghayr ma’qul). Informasi historis tercatat dalam
al-Quran, bahwa para Rasul dan para Nabi selalu melawan syirik-irasional dengan
ajaran monoteis-rasional (tauhid), seperti diantaranya dinyatakan dalam surat
al-Anbiya: 22; “Kalau ada Tuhan selain Allah, niscaya bumi ini akan hancur”,
atau dalam al-An’am: 74-78; “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada
bapaknya Azar “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala itu sebagai Tuhan?
Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata. Dan
demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan yang terdapat
di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar termasuk orang-orang
yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang lalu dia
berkata “inilah Tuhanku”. Tetapi tetkala bintang itu tenggelam ia berkata “saya
tidak suka yang tenggelam”. Kemudian ketika melihat bulan terbit dia berkata
“inilah Tuhanku”. Tetapi ketika bulan itu terbenam ia berkata “sesungguhnya
jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang
yang sesat” kemudian tatkala melihat matahari terbit ia berkata “inilah
Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari terbenam dia
berkata “Hai kaumku sesungguhnya aku terlepas dari apa yang kalian sekutukan”.”
Dengan sendirinya segala bentuk syirik selalu tidak dapat
diterima oleh akal. Agama selain Islam seperti Yahudi dan Nashrani telah
mengalami penyimpangan yang fatalistik yang pada akhirnya memberikan gambaran
munculnya kembali kepercayaan irasional. Bani Israil –sebagaimana dalam surat
Taubat: 29-30– yang telah diberi Kitab oleh Allah swt. kemudian merubah Taurat
dan mengatakan dengan lantang bahwa “uzair adalah anak Allah” dan “menjadikan
rahib-rahib sebagai sekutu Allah”. Sementara orang-orang Nashrani mengatakan
“Allah adalah Isa al-Masih putra Maryam” sebagaimana yang diceritakan dalam
al-Maidah: 17, dan mengatakan bahwa “Tuhan adalah trinitas” seperti yang
diinformasikan al-Maidah: 72. Dengan melakukan sikap irasional tersebut
merekapun menjadi sesat dan tidak ada bedanya dengan penyembah api, bulan,
matahari, patung, dll.
Merenungkan alam beserta tatanannya (Yusuf: 105) dan
al-Quran dengan bayan-nya (al-Ankabut: 51-52) merupakan dua unsur pokok
yang melandasi teologi Islam, di mana terdapati epistemologi yang
mengkombinasikan bayan sebagai sumber pengetahuan dan burhan sebagai
sarana memperoleh pengetahuan. Dan inilah sejatinya filsafat Islam, khususnya
Ahli Sunnah Waljamaah. Akal semata tidaklah mampu memahami masalah-masalah
misterius dan transedental yang jauh dari dunia empiris dan yang terdapat di
luar kosmos. Persoalan seputar sifat-sifat Allah, roh manusia, dan kehidupan di
akhirat adalah misteri yang tidak mungkin dipecahkan melalui teknik penalaran.
Namun superioritas wahyu dengan enteng memecahkan misteri di balik
selimut itu.
1 Ensiklopedi Islam, Katalog Dalam Terbitan (KDT), pen. PT Ichtiar
Baru van Hoeve, Jakarta, vol. II, 1999, huruf. ”K”, h. 346.
2 Dr. Ainurrafiq. M.A., Mazhab Jogja; Menawarkan
Epistemologi Jama’I Sebagai Epistemologi Ushul Fiqh, Jogjakarta: Ar-Ruzz
Press, cet. I, 2002, h. 33-34.
3 Telaah dalam Dr. Muhammad Abid al-Jabiri, Fashl al-Maqâl
fi Taqrîr ma bayn al-Syariat wa al-Hikmah min
al-Ittishal aw Wujub al-Nadhr al-‘Aql wa Hudûd al-Ta’wil (al-Din wa
al-Mujtami’), Bairut: Markaz Dirâsah al-Wahdah al-‘Arabiyyah, cet. III,
1999, h. 12. Lihat juga C. A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic
World, 1988, London: Croom Helm Limited. Telah diterjemahkan oleh Hasan
Basari dengan judul Filsafat Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, cet. I, 1989, h.
82-83.
4 Dr. Muhammad Abid al-Jabiri. Op. cit. h. 49.
5 Imam al-Qadhi al-‘Alamah al-Awhad Abû al-Walîd Muhammad
bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Fashl al-Maqal
ma’a Madkhal: Dr. Muhammad Abid al-Jabiri, Bairut: Markaz Dirâsah
al-Wahdah al-‘Arabiyyah, cet. III, 1999, h. 86-87.
6 Dr. Ainurrafiq. M.A. Loc. cit.
7 Abd al-Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh,
Dar al-Qalam, cet. XII, 1978, h. 66-69.
8 Dr. Ainurrafiq. M.A. Loc. cit.
9 Ibid.
10 C. A. Qadir. Op. cit. h. 10.
11 Dr. Ainurrafiq. M.A. Loc. cit.
12 C. A. Qadir. Op. cit. h. 60.
0 komentar:
Posting Komentar